I. Sistem Produksi Barat
Sistem produksi yang paling banyak dipakai saat ini adalah yang
berasal dari Eropa dan Amerika. Sistem produksi tersebut dikenal
sebagai sistem produksi western. Ciri-ciri dari sistem produksi ini
antara lain:
* melakukan peramalan dalam menentukan kuantitas produksi,
* melakukan optimasi dalam penjadwalan produksi, penentuan
kebutuhan bahan,penentuan kebutuhan mesin, pekerja, dll.
* terdapatnya departemen pengendalian kualitas,
* terdapatnya gudang receiver dan gudang warehouse sebagai
penyimpanpersediaan, dll.
Secara garis besarnya adalah masih terdapatnya unsur- unsur
probabilistik dalam melakukan keputusan untuk masalah-masalah sistem
produksi. Filosofi dasar dari sistem produksi western adalah bagaimana
mengoptimalkan unsur-unsur sistem produksi yang tersedia. Hal ini
memungkinkan karena negara-negara barat waktu itu masih memiliki
resourcess yang cukup banyak.
Pada tahun 1970-an terjadi krisis minyak bumi yang sangat mempengaruhi
industri-industri barat sebagai consumer terbesar. Sedangkan Jepang
tidak begitu terpengaruh krisis tersebut karena Jepang sudah biasa
hemat dalam menggunakan resources khususnya minyak bumi. Akibatnya
industri-industri barat mengalami kemerosotan sedangkan sebaliknya di
Jepang justru mulai muncul.
Pada tahun 1980-an sistem produksi jepang mulai menunjukkan
keunggulan-keunggulannya sedangkan barat justru baru mulai
merekonstruksi dan merestrukturisasi sistem produksinya baik melalui
teknik-teknik produksinya maupun manajemennya. Pada tahun 1990-an
Jepang nampak berkembang pesat dan jauh meninggalkan Eropa ataupun
Amerika.
II. Sistem Produksi Jepang
Sistem produksi Jepang dikenal dengan nama Sistem Produksi Tepat-Waktu
(Just In Time). Filosofi dasar dari sistem produksi jepang (JIT)
adalah memperkecil ke mubadziran (Eliminate of Waste). Bentuk
kemubadziran antara lain adalah
Kemubadziran dalam Waktu, misalnya ada pekerja yang menganggur (idle
time), mesin yang menganggur, waktu transport dalam pabrik tidak
efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material,
lintasan produksi yang tidak seimbang sehingga terjadi bottle-neck,
terlambatnya pengiriman barang, banyak-nya karyawan yang absen, dsb.
Kemubadziran dalam Material, misalnya terlalu banyak buangan (scraps,
chips) akibat proses produksi, banyak terjadi kerusakan material atau
material dalam proses, banyaknya material yang hilang, material yang
usang, nilai material yang menurun akibat terlalu lama disimpan, dll.
Kemubadziran dalam Manajemen, misalnya terlalu banyak karyawan kantor,
banyak terjadi mis-informasi antar departemen, banyaknya overlapping
dalam penugasan, pelaksanaan tugas yang tidak efektif, sulit dalam
koordinasi, dll. Jepang melakukan eliminate of waste karena jepang
tidak punya resources yang cukup. Jadi dalam setiap melakukan
pengambilan keputusan terutama untuk masalah produksi selalu menganut
kepada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas.
Untuk dapat melaksanakan eliminate waste Jepang melakukan strategi sebagai
berikut :
- Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan.
- Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan.
- Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan.
Tujuan utama dari sistem produksi JIT adalah untuk dapat memproduksi
produk dengan Kualitas (quality) terbaik, Ongkos (cost) termurah, dan
Pengiriman (delivery) pada saat yang tepat, dan disingkat QCD. Tujuan
utama ini bisa dicapai jika ketiga unsur berikut dapat dilaksanakan
secara terpadu, yaitu Melakukan pengendalian kuantitas dengan baik.
Untuk dapat menentukan kuantitas yang tepat maka diperlukan sistem
informasi yang baik. Sistem informasi untuk memproses produk tersebut
di Jepang dikenal dengan istilah Kanban (kartu berjalan). Pelaksanakan
pengendalian kuantitas akan berjalan dengan baik jika didukung oleh
suplier dan consumer yang pasti dan tepat waktu. Jika hal ini dapat
dilakukan maka kita akan dapat mengeliminir waste dalam material
sehingga konsep Zerro Inventory dapat dilaksanakan.
Melakukan pengendalian kualitas dengan baik.
Dalam melakukan pengendalian kualitas di Jepang dikenal dengan istilah
TQC (Total Quality Control). Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi
konsep Zero Defect. Didalam sistem produksi di jepang tidak ada
departemen pengendalian kualitas, tetapi yang ada adalah Quality
Assurance (jaminan kualitas).
Konsep zero defect tersebut akan dapat berjalan dengan baik jika para
pekerja diberi kewenangan (otonomi), agar tidak memberikan hasil
produk yang tidak baik ke rekan kerja berikutnya sehingga tidak
menyusahkan pekerja lainnya.
Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan karyawan. Didalam sistem produksi
dikenal 5 faktor produksi yang penting agar produksi dapat berjalan
dengan baik yang dikenal dengan istilah Lima M, yaitu Man, Machine,
Material, Money, dan Method. JIT tidak ingin menganggap Man hanya
sebagai salah satu faktor produksi saja, tetapi lebih dari itu yakni
ingin mengangkat harkat karyawan sehingga karyawan tersebut merasa
memiliki sebagian dari perusahaan. Untuk dapat melakukan ini ada 3
cara, yaitu :
a. Otonomi (kewenangan).
Karena karyawan sebagai pelaku dan penentu dalam proses produksi maka
perlu kewenangan sehingga dapat mengambil keputusan-keputusan sesuai
dengan batasan tugas dan tanggungjawabnya.
b. Flexibility
Karyawan perlu mengetahui dan bisa melakukan pekerjaan- pekerjaan lain
diluar pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kebosanan
(boredom) atau kejenuhan dan dapat melakukan subtitusi kerja lainnya
jika karyawan yang ber-sangkutan absen.
Ditinjau dari segi manajemen adalah menguntungkan dalam segi
pengkoordinasian karena setiap karyawan mengerti akan keterkaitannya
dan tugas-tugas rekan kerjanya yang lain. Dengan cara tersebut akan
didapat karyawan yang bersifat multifungsi. Jika karyawan diarahkan
kepada pekerjaan yang bersifat Spesialisasi saja maka akan muncul
hal-hal negatif antara lain adalah kesulitan dalam mengkoordinasi
karena timbulnya blok-blok atau pengkotakan antar job-nya
masing-masing, tidak ada sifat gotong-royong dalam bekerja, antara
karyawan tidak ada sifat kepedulian, dll.
c. Creativity
Jika wewenang, tanggung-jawab, job, dan flexibility sudah dimiliki
setiap karyawan tetapi kreativitas belum tersalurkan maka akan muncul
kejengkelan atau unek-unek dari karyawan tersebut. Untuk itu perlu
adanya penyaluran kretivitas apakah dalam bentuk Urun rembug,
brainstorming, atau yang lainnya. Dengan demikian akan terbentuk suatu
Demokrasi dalam sistem produksi.
Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa JIT sebenarnya berakar pada
ilmu-ilmu barat. JIT dapat berjalan dan berhasil di Jepang karena
didukung oleh budaya jepang yang sesuai. Jadi secara tidak langsung
Jepang dapat memilih dan membudidayakan budaya asing yang baik untuk
disesuaikan dan dikembangkan menjadi budayanya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar